Saturday, March 26, 2016

Technopreneurship, Tidak Selalu Membangun Pabrik (Artikel Bambang Suharno)


Bersama delegasi Indonesia, beberapa tahun lalu saya berkesempatan untuk untuk berkunjung ke Kota Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, untuk mengikuti seminar dan melihat sebuah pameran bisnis perunggasan terbesar di dunia, International Poultry Expo (IPE). Lokasi pameran sangat strategis, yakni di Georgia Convention Center. Tidak jauh dari sana, ada kantor pusat studio televisi CNN dan kantor pusat perusahaan  minuman ringan terbesar di dunia, Coca Cola.

Di pameran perunggasan, saya melihat bagaimana canggihnya teknologi diterapkan dalam pengembangan bisnis ayam, mulai dari kandang otomatis, sistem pemeliharaan yang terintegrasi dari pembuatan pakan ayam, pemberian pakan dan minum otomatis, teknologi menangkap ayam, memotong ayam hingga pengolahan daging dan telur ayam. Saya juga menyempatkan diri berkunjung ke pemotongan ayam modern yang berlabel halal dengan standar Majelis Ulama setempat. Saya tidak terlalu kaget dengan teknologi tersebut karena saya tahu, sebagian dari teknologi tersebut ada yang sudah diterapkan di perusahaan-perusahaan pembibitan unggas (breeding farm) dan pabrik pakan modern di Indonesia seperti Japfa Comfeed, Charoen Pokpand Indonesia, Sierad Produce dan sebagainya.

 

Namun di luar semua itu tak kalah menariknya adalah kantor pusat Coca-cola yang berada di seberang lokasi pameran. Perusahaan Coca Cola didirikan tahun 1944 oleh Asa Griggs Candler yang semula pemilik sebuah toko kimia. Pada awalnya ia menjual minuman coca cola dalam sebuah kedai minuman semacam warkop di negeri kita. Para penggemar coca cola dimanapun, bila ingin menikmati minuman coca cola harus datang ke kedai, cukup dengan mengeluarkan kocek 5 sen dolar. Ramuannya adalah coke dicampur soda, yang membuat tubuh terasa segar.